Prof Etty Riani Tekankan Pentingnya Kesadaran Lingkungan dan Pencemaran Sungai
Kasus pencemaran sungai kerap terjadi di berbagai sungai di Indonesia. Berdasarkan kejadian tersebut, Prof Etty Riani, Guru Besar dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB University menyampaikan tentang pentingnya kesadaran masyarakat serta ketegasan pemerintah dalam mencegah pencemaran sungai.
Dosen IPB University itu menyebut, di antara agen pencemar sungai ialah limbah domestik rumah tangga maupun limbah industri. Menurutnya, industri diwajibkan memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang sesuai, namun pengolahan limbah bukanlah hal yang murah.
“Pada kasus Sungai Cileungsi, jika terdapat buih maka perlu diteliti apakah di dalamnya terdapat surfaktan yang berasal dari detergen atau dari bahan lain,” ujarnya. Menurutnya, pengolahan limbah surfaktan atau detergen di Indonesia belum umum dilakukan. Sementara, yang sudah biasa dilakukan ialah pengolahan limbah domestik yang mudah terurai yang berasal dari kegiatan rumah tangga seperti dari sisa makanan dan sebagainya. “Teknologi harusnya dapat menjadi solusi akan tetapi perlu diingat bahwa itu membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga industri akan mencari alternatif,” terangnya.
Prof Etty mengatakan, Limbah deterjen sendiri terdiri dari dua bentuk yaitu LAS (Linier Alkyl Benzene Sulfonate) dan ABS (Alkyl Benzene Sulfonat). ABS merupakan surfaktan yang tidak ramah lingkungan dan sulit untuk terurai. Meski sudah dilarang, namun Prof Etty meragukan apakah ABS benar-benar hilang dari peredaran dan tidak dipakai dalam produk industri. “Limbah ABS ini jika terkonsumsi dalam jumlah kecil dan terakumulasi dalam waktu lama juga dapat berpotensi menyebabkan kanker,” jelasnya.
Oleh karena itu kesadaran masyarakat merupakan hal yang utama. “Jangan mengandalkan pemerintah, karena disadari bahwa jumlah serta pengawasan dari dinas atau pihak terkait sangat terbatas sehingga tidak akan mampu mengawasi serta menangani kasus pencemaran jika tidak ada kesadaran dari masyarakat,” ungkapnya.
Di sisi lain, kondisi ekonomi dan lingkungan yang belum balance menjadi dilema tersendiri dalam isu lingkungan. “Kita menganut paradigma pembangunan berkelanjutan. Secara ekonomi harus menguntungkan tetapi secara sosial tidak boleh memunculkan masalah. Pembangunan tidak boleh merusak lingkungan, harus ada perhatian dari industri untuk masyarakat dan lingkungan, misalnya dengan membuat IPAL yang baik dan sesuai peruntukannya,” ujarnya.
Terkait pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Prof Etty menerangkan bahwa pemerintah harus hadir dalam pembangunan berkelanjutan. “Jika layak secara lingkungan, maka izin lingkungan suatu industri akan terbit, jika tidak maka pembangunan harus dibatalkan. Namun sayangnya masih ada pengusaha yang belum memahami kewajiban terkait lingkungan, para pengusaha menganggap itu hanya kewajiban administrasi saja,” terangnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah harus tegas dan tidak boleh melonggarkan hal yang tidak layak namun karena suatu hal akhirnya izin dikeluarkan. “Jika tidak layak maka jangan bermain. Aturan harus tegak, perlu adanya sidak untuk mengawasi sumber potensi pencemar. Selain itu pada masyarakat harus ditingkatkan kesadarannya, jika tidak, sekuat apapun pemerintah saya kira tidak akan berhasil,” tandasnya. (IR/ra)
Previous post
Mahasiswa FPIK IPB Ajarkan Siswa Baru Lakukan Pembibitan Mangrove Menggunakan Eco-polybag dan Hormon Auksin
Next post