Sebagai suatu rangkaian acara G20 dan dalam rangka memperingati hari maritim 2022, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi menggelar serangkaian kegiatan dalam upaya mengalakkan literasi maritim. Salah satu event yang digagas adalah Lokakarya Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem Pesisir (23 September 2022). Sejumlah pakar didaulat menyampaikan pandangannya tentang tema tersebut. Diantaranya adalah Prof. Indroyono Soesilo (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Kabinet Kerja 2014-2019), Dr. Andreas Kunzmann (Centre for Marine Tropical Ecology, Bremen, Germany), Prof. Hefni Effendi (Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB University).
Dalam sambutan pembukaan, Dr. Nani Hendriati (Deputy Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Menkomarves) mengulas tentang kolaborasi dan program yang dibawah koordinasi kedeputian beliau, serta menekankan pentingnya kolaborasi pentahelix yang mencakup: perusahaan (business), pemerintah (government), akademisi (academician), dan masyarakat (civil society) dalam pengelolaan maritim. Di era globalisasi dan kolaborasi ini, kerjasama pentahelix menjadi sebuah keniscayaan. Nani juga menjelaskan kolaborasi yang sekarang ini sedang dilakukan dengan Jerman, adalah program restorasi ekosistem mangrove, pembangunan World Mangrove Center, dan Program Just Energy Transition Partnership (JETP).
Dr. Andreas Kunzmann memaparkan sejumlah kerjasama kemitraan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya pesisir antara Jerman dengan beberapa negara tropis di Asia dan Afrika. Juga mengelaborasi program yang sedang berlangsung di ZMT (Leibniz Zentrum fuer Marine Tropenforshung) yakni food4future dengan meangaplikasikan Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA).
Selanjutnya Prof. Indroyono yang merupakan menteri koordinator pada kabinet kerja, berkisah tentang perjalanan kerjasama dengan pemerintah Jerman yang beliau rintis, yang berawal dari adanya beasiswa DAAD marine, dan juga dipicu oleh Karhutla (Kebakaran hutan dan lahan) dahsyat, yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, menghanguskan sekitar 5 juta hektar, menyebabkan polusi udara yang menyebar di sepanjang katulistiwa. Hal ini merupakan konsekuensi dari fenomena El-Nino.
Dari sejumlah kejadian tersebut, lahirlah program kerjasama Indonesia-Jerman yang bertajuk SPICE 1,2,3 (Science for the Protection Indonesia Coastal Ecosystem). Salah satu output dari program kerjasama ini adalah Indonesia dapat mengklaim Landas Kontinen di Barat Pantai Aceh, berdasarkan data kelautan yang dikumpulkan di bawah Kerjasama Riset Kelautan Indonesia – Germany menggunakan R/V SONNE. Prof Indroyono, memberikan tantangan kepada para pakar yang merupakan jebolan kerjasama Jerman ini untuk melakukan perluasan jejaring kolaborasi (expanding network), agar kemitraan riset seperti yang telah berlangsung dengan Germany ini, juga dapat dibina dengan negara lain. Dimaksdudkan agar kekayaan maritim Indonesia yang luar biasa melimpah ini bisa dimanfaatkan bagi kemakmuran bangsa.
Luaran lain dari program kolaborasi dengan Jerman adalah pendidikan S2 dan S3 sejumlah akademisi dan peneliti Indonesia di berbagai universitas dan lembaga riset terkemuka Jerman. Salah satunya adalah Prof Hefni yang alumni S3 dari Heinrich-Heine Universitaet, Duesseldorf, Germany, yang juga menjadi pembicara pada lokakarya ini.
Prof. Hefni memaparkan tentang perlunya memperhatikan tidak hanya fungsi ekosistem, tapi juga jasa ekosistem pesisir. Sejumlah orang yang tidak berlatar belakang ekologi, pasti melihat ekosistem pesisir hanya dari segi sumberdaya yang dapat dipanen secara langsung (tangible resources). Dalam perspektif jasa ekosistem, sumberdaya yang dapat dipanen secara langsung inilah yang dikenal dengan istilah provisioning (penyedia barang). Sementara itu jasa ekosistem lainnya yang berupa regulating/services (pengaturan), cultural, dan supporting (pendukung) sering dipinggirkan, karena ketidaktahuan akan krusialnya makna dari jasa ekosistem yang bersifat intangible tersebut.
Salah satu jasa ekosistem yang sangat mengemuka saat ini adalah tentang carbon sequestration (penyerapan carbon). Metode perhitungan serapan carbon inilah yang semestinya digarap serius di negeri bahari ini. Apalagi potensi serapan carbon ekosistem pesisir, jauh lebih tinggi dari ekosistem terestrial. Hutan mangrove mampu menyerap carbon 8 kali lebih besar dari hutan hujan tropis. Ekosistem lantai mangrove bersifat rendah oksigen atau tak ada osigen (anaerob/anoxic), sehingga bahan organik berupa daun, akar, ranting, dan batang mangrove tersimpan di ekosistem mangrove dalam waktu yang sangat lama, bahkan dekomposisinya menjadi karbondioksida (CO2) juga berlangsung sangat lambat. Demikian pula halnya tentang pelepasan CO2 hasil dekomposisi bahan organik tersebut juga berlangsung begitu lambat.
Oleh karena itu, carbon tersimpan sangat lama berabad-abad di ekosistem mangrove. Fenomena inilah yang menghantarkan ekosistem mangrove sebagai penyimpan carbon (sequestration) yang baik. Negeri kita merupakan rumah bagi ekosistem mangrove di bumi ini. Tingginya kemampuan hutan mangrove, padang lamun, salt marshes (rawa payau) dalam menyerap karbon menyebabkan ekosistem pesisir ini dijuluki sebagai coastal blue carbon.
Selanjutnya Prof Hefni juga mengutip hasil penelitian Stockholms University di Laut Baltik. Laut ini telah merasakan pengaruh dari pemanasan global yang implikasinya terhadap perubahan iklim. Ekosistem pesisir dalam keadaan terdegradasi dengan keanekaragaman hayati yang rendah, memiliki kapasitas penyerap karbon (carbon sink) yang terbatas, dan dapat menjadi sumber bersih (net source) dari gas rumah kaca yang relevan dengan perubahan iklim, seperti karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Semakin banyak bukti bahwa pemanasan di daerah lintang tinggi melepaskan metana yang tersimpan dari titik-titik panas seperti tundra Arktik.
Acara yang akhirnya ditutup oleh Dr. Andreas D. Patria (Direktur Komunikasi, Kemenko Marves) ini menekankan kembali tentang perlunya menggaungkan literasi maritim, agar ketahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem maritim/bahari akan menjadi lebih tersebarluaskan lagi. SDGs yang tercakup dalam kegiatan ini adalah SDG13 Climate action, SDG14 Life below water, dan SDG17 Partnership for the goals.